Religion and Sustainable

Official Blog of Institute for Religion and Sustainable Development

Perempuan Penjaga Manggrove?  


“Kamu ahli mangrove?”. Seorang bapak cukup senior menyapa aku di pertemuan pelatihan project cycle management di UNDP minggu lalu. Profesor.Dr. Sukristijono Sukardjo. Begitu nama yang tertera di saku atas bagian kanan. “Tidak Pak, Saya ahli dalam pemberdayaan perempuan dan saya sedang menawarkan proposal penguatan peran perempuan untuk menjaga hutan mangrove”. Secara singkat aku jawab dengan jujur pertanyaan professor. Kupikir dia cukup puas dengan jawabanku, tapi dia malah kejar terus dan akhirnya kita terlibat dalam diskusi tentang pemberdayaan masyarakat untuk perlindungan hutan mangrove. 
Perjumpaan saya dengan Prof. Kris, memberikan kesan bahwa persoalan mangrove  itu terpisah dengan persoalan hubungan manusia dengan manusia. Saya mendapatkan kesan bahwa perlindungan hutan mangrove hanya masalah tanam menaman mangrove. Sehingga muncul pertanyaan-pertanyaan dari para juri proposal terkait seputar per-mangrova-an. Apakah anda pernah punya pengalaman menanam mangrove? Apakah anda tahu kalau mangrove itu cuman salah satu tanaman pantai. Mangrove dan bakau itu beda, anda tahu? Mangrove itu tumbuh di daerah endapan ? dan seterusnya. Ya…saya memang tidak tahu sedetil itu.Tapi dalam konsep perlindungan alam, yang jelas kita tidak hanya mikirin mangrove nya saja, sementara manusianya sebagai pelaku perlindungan tidak disentuh. 
Saya harus sepakat dengan ungkapan rekan saya, Realino Nurza, lulusan Natural Resource Management  Universitas Andalas, mengatakan bahwa jika hubungan manusia dengan manusia tidak teratur, maka alamnya juga akan tidak teratur. Bahkan di dalam Islam sendiri tiga model hubungan manusia; yaitu manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam, juga  harus secara integrative diterapkan. Mengingat itu, saya tertarik mendalami gagasan tentang menghubungkan antara peran perempuan dengan perlindungan mangrove. Mengapa perempuan penting berperan dalam perlindungan mangrove? 
Pertama, perempuan itu sama dengan laki-laki memiliki potensi untuk bisa dikembangkan. Artinya perempuan berpotensi untuk mempelajari lebih jauh untuk membudidayakan mangrove. Sebagai bagian dari komunitas, jelas perempuan punya kepentingan untuk menjaga mangrove mereka. Rusaknya hutan mangrove secara sistematis menghilangkan mata pencarian alternative buat perempuan. Jika dalam keseharian para suami pergi melaut, maka umumnya sesuai dengan peran gender di masyarakat partiakis perempuan yang ada di rumah. Mereka menunggu hasil tangkapan ikan suami. Dulu, ketika hutan mangrove terawat, perempuan masih bisa mencari ikan, udang atau kepiting dibawah kaki-kaki pohon mangrove. Mereka masih bisa makan dari sana. Nah, ketika hutan rusak. Maka kehidupan lain juga punah. Ikan, udang dan kepiting mencari tempat lain, atau bisa saja punah begitu saja. Suami buth waktu 1-2 minggu di laut, makanan tidak banyak tersedia dan bisa dipastikan gizi buruklah yang terjadi. Jadi, melibatkan perempuan dalam pengelolaan hutan mangrove, sudah tidak diragukan lagi pentingnya. 
Kedua, Ketersediaan waktu perempuan cukup banyak di komunitas. Artinya perempuan yang ditinggalkan oleh suaminya melaut, mereka banyak tinggal di rumahnya. Di Pulau Tidung misalnya, sehari ada sekitar 5 jam waktu yang bisa dipakai oleh kaum perempuan untuk difungsikan pada pekerjaan-pekerjaan sosial. Termasuk merawat hutan. Sehingga cukup realistis jika perempuan diberikan peran untuk merawat mangrove. Dibandingkan dengan laki-laki yang hampir menghabiskan waktunya pergi ke laut, maka tidak realistis kalau tanggung jawab perlindungan hutan hanya dipaksakan pada laki-laki.
Ketiga, Pekerjaan merawat hutan mangrove membutuhkan sentuhan karakter seorang perawat yang handal. Ketelatenan, ikhlas sepenuh hati, detil memperhatikan setiap detik perkembangan pohon mangrove, dan sampai melepaskan mangrove dewasa untuk hidup secara bebas dan melindungi habitat kehidupan lainnya. Perempuan secara sosial dan alamiah dikontruksi memiliki karakter-karakter ini. Bahkan mereka sudah sangat terlatih dan terbukti sukses dalam melahirkan manusia dan merawat manusia hingga dewasa. Keahlian perempuan ini, harus dichanelkan ke publik untuk kemaslahatan orang banyak. Nah, disinilah urgensi kenapa perempuan berpotensi untuk melindungi hutan mangrove. 
Terakhir, perempuan itu fungsinya sama dengan tanah. Apapun yang tumbuh diatasnya maka akan dirawatnya untuk tumbuh lebih besar. Saya menanam rumput gajah di depan rumah, tapi beberapa bulan kemudian, tumbuh berbagai rumput lainnya. Kalau tanah itu pilih-pilih, maka dia akan hanya menumbuhkan rumput yang saya tanam. Tapi nyatanya tidak. Rahim perempuan juga mempunyai fungsi akan membesarkan janin yang masuk ke dalamnya. Menjaga agar tetap tertanam dalam rahim dan kemudian jika sudah siap dilepaskan. Nah…kesamaan fungsi ini yang secara alamiah sangat kuat menghubungkan perempuan dengan alam. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak memberikan peran pada perempuan untuk memperbaiki system pengelolaan hutan mangrove kita. Secara biologis dan sosial, perempuan mempunyai kekuatan komunal untuk saling membantu satu dengan yang lainnya. Bergerak secara bersama untuk mempertahankan keterpeliharaan hutan mangrove. Secara ideologis sebagai penjaga kehidupan, perempuan mampu menggunakan kekuatan network sosial dia untuk membuat sebuah mekanisme merawat hutan mangrove. Ini semua karena didorong oleh satu kepentingan yaitu keberlanjutan hidup mangrove adalah keberlanjutan hidup perempuan. Keberlanjutan hidup perempuan adalah keberlanjutan hidup masyarakat luas. (RK)***
Sumber Foto: Aman Indonesia


[get this widget]

AddThis Social Bookmark Button

0 komentar

Posting Komentar