Religion and Sustainable

Official Blog of Institute for Religion and Sustainable Development

Sumbangsih Alam untuk Kehidupan Perempuan  

Obrolanku dengan Ibu Rogayah, seorang penduduk asli Rawajati Ciliwung yang telah memasuki usia ke 78 dan mempunyai 10 anak, membawaku pada sebuah perenungan betapa alam dan perempuan adalah kesatuan yang sebenarnya tidak bisa dipisahkan. Awalnya, obrolanku hanya sebatas ingin mengetahui latar belakang sejarah padatnya rumah penduduk di sekitar kali Ciliwung dan sejak kapan kondisi kali tersebut mulai berwarna coklat, layaknya susu. Tak terasa obrolan siang menjelang sore itu sampai pada cerita sang Ibu bahwa kondisi lingkungan Rawajati Ciliwung ketika ia berumur enam tahun sungguh jauh berbeda jika dibanding sekarang. Seraya menerawang jauh, mengingat kondisi kehidupannya sejak kecil hingga menikah dan kemudian mempunyai anak, kali Ciliwung sungguh merupakan sumber kehidupan. Dulu, ketika remaja dan bahkan setelah menikah, kali Ciliwung adalah tempat favorit nya untuk mencuci baju dan bermain air bersama teman-temannya. Namun sejak ia memiliki tujuh anak di umurnya yang menjelang sekitar 30 tahun, kali mulai kotor seiring banyaknya pendatang yang datang dari daerah lain, seperti Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. 
Kebun yang ia ceritakan di awal ketika ia masih kecil hingga mempunyai enam anak, berganti menjadi tanah yang diratakan untuk membangun rumah-rumah kontrakan serta rumah tinggal pribadi, sesuai dengan harta waris yang telah dibagikan oleh orang tuanya. Kondisi  tanah pun tidak rata lagi dan menjadi setengah tinggi dan setengah rendah. Hingga sekarang, dikenal sebutan ‘bawah’ untuk merujuk pada rumah-rumah yang ada di dekat bantaran kali Ciliwung dan ‘atas’ untuk merujuk pada rumah-rumah di lingkungan atas, yang dekat dengan jalan keluar gang menuju jalan raya. Obrolan selanjutnya yang sungguh menggugah kesadaranku akan relasi perempuan dan alam, adalah bahwa sang Ibu merasa  beruntung ketika hidup di lingkungan asri, dengan suasana kebun berisi ragam pohon sayur dan buah-buahan. 
Sambil tersenyum, ia mengatakan bahwa dulu punya uang sedikit pun selalu cukup. Namun sekarang tidak. Dulu, dengan ragam tanaman sayur mayur dan buah-buahan, maka tidak usah bingung ingin memasak apa karena punya uang sedikit. Berdasarkan penuturannya, ia tinggal memetik sayur mayur di kebun dan cukup membeli nasi nya saja. Seulas, senyumnya pun kian memudar ketika ia menceritakan juga membandingkan kondisi kehidupan keluarga anak-anak dan cucu nya saat ini. “Sekarang mbak, apa-apa serba mahal. Belum lagi menantu saya kan kerja nya supir. Uang yang di dapat nggak seberapa mbak”, ujarnya. Sejurus kemudian, sambil mencerna tiap perkataan sang Ibu, maka aku memahami betapa alam sangat berkontribusi bagi kehidupan perempuan. Jika mayoritas perempuan berfikir bagaimana caranya agar dapur bisa selalu mengepul, maka saat itulah alam/lingkungan memberi jalan keluar dan menjadi sahabat sejati kaum perempuan. Apapun yang dimiliki alam, maka sebetulnya adalah anugerah untuk manusia pada umumnya dan ternyata sangat bermanfaat bagi kehidupan domestik, yang bagi banyak orang sangat lekat dengan perempuan.  
Tak terasa dua jam berlalu dan obrolanku sore itu dengan sang Ibu yang mulai mengeluh sakit karena penyakit gula yang dideritanya pun harus berakhir. Niat awal untuk mengetahui latar belakang sejarah daerah Rawajati Ciliwung dengan mewawancarai sang sesepuh hari itu, memberikan dua pelajaran bahwa alam/lingkungan akan memberikan manfaat pada manusia, selama kita bisa menjaga nya. Sebaliknya, alam pun akan jengah dan bosan untuk memberikan manfaatnya pada manusia, ketika kita mulai memusuhi alam dengan prilaku buruk. Pelajaran berikutnya, manfaat alam ternyata sangat nyata dan dekat dengan kehidupan perempuan. (ASA)



[get this widget]

AddThis Social Bookmark Button

0 komentar

Posting Komentar